TIMES MAKASSAR, MALANG – Setiap suap kuliner, tersimpan memori rasa. Ia tak hanya berbicara tentang lezat atau tidaknya suatu hidangan, tetapi juga jejak perjalanan budaya. Siomay, jajanan rakyat yang kini menjadi favorit di berbagai kota di Indonesia, menyimpan kisah panjang tentang perubahan cita rasa yang berakar dari pertemuan budaya Tiongkok dan Nusantara.
Perjalanan rasa siomay adalah bagian dari sejarah kuliner Indonesia yang sering terlupakan: sejarah yang seharusnya dicatat. Bukan hanya dalam prasasti atau buku, tetapi juga dalam memori lidah setiap generasi.
Cita Rasa Shaomai dari Negeri Tiongkok
Kisah siomay bermula dari Tiongkok, tempat makanan ini dikenal dengan nama shaomai.
Shaomai adalah salah satu varian dim sum yang terkenal di wilayah Guangdong dan Fujian. Hidangan ini awalnya menggunakan isian daging babi cincang yang dibumbui dengan kecap asin, minyak wijen, dan jahe. Cita rasanya kaya akan rasa gurih, dengan sedikit sentuhan manis alami dari daging yang segar.
Shaomai tradisional memiliki rasa yang berbeda jauh dari siomay yang kita kenal sekarang. Di Tiongkok, rasa gurih murni dari daging babi menjadi elemen utama, tanpa bumbu kacang seperti yang ditemukan di Indonesia.
Bumbu kacang, rasa pedas, dan tambahan kecap manis adalah inovasi lokal yang muncul setelah makanan ini melewati perjalanan lintas budaya menuju Nusantara.
Adaptasi dari Babi ke Ikan Tenggiri
Pada abad ke-17, para pedagang Tionghoa membawa shaomai ke pelabuhan-pelabuhan utama di Nusantara seperti Batavia (Jakarta), Semarang, dan Surabaya. Di sinilah terjadi adaptasi besar-besaran terhadap rasa dan bahan dasar makanan ini.
Mayoritas penduduk pribumi, khususnya di Jawa Barat yang didominasi oleh Muslim, tidak mengonsumsi daging babi. Oleh karena itu, isian daging babi dalam shaomai diganti dengan ikan tenggiri, yang memiliki rasa gurih dan tekstur yang cocok untuk dikukus.
Pergantian bahan ini memberikan perubahan signifikan pada cita rasa siomay. Ikan tenggiri yang memiliki rasa lebih ringan dibandingkan daging babi, membutuhkan bumbu yang lebih kuat agar rasanya tetap menonjol. Di sinilah bumbu kacang mulai diperkenalkan sebagai pelengkap, memberikan dimensi rasa yang baru: gurih, manis, dan sedikit pedas.
Tidak berhenti di situ, masyarakat lokal juga menambahkan bahan-bahan lain seperti pare, tahu, kentang, dan telur rebus ke dalam hidangan ini, menciptakan komposisi rasa yang kompleks dan berlapis.
Bumbu Kacang, Jejak Rasa dari Batavia
Bumbu kacang yang menjadi identitas siomay di Indonesia juga memiliki sejarahnya sendiri. Kacang tanah, atau yang dulu dikenal sebagai katjang tjina, diperkenalkan oleh para pedagang Tionghoa ke Batavia. Awalnya digunakan dalam berbagai hidangan seperti sate dan gado-gado, bumbu kacang kemudian diadaptasi untuk siomay, memberikan kekayaan rasa yang unik dan disukai oleh lidah lokal.
Cita rasa bumbu kacang yang manis-gurih ini menjadi ciri khas yang membedakan siomay Indonesia dari shaomai di Tiongkok. Kombinasi rasa ini sangat cocok dengan budaya makan masyarakat Indonesia yang menyukai perpaduan rasa manis dan pedas dalam satu hidangan.
Transformasi Rasa Siomay dan Memori Kolektif yang Terlupakan
Namun, seperti yang terjadi pada banyak hidangan tradisional lainnya, cita rasa siomay terus mengalami perubahan seiring waktu. Beberapa generasi tua mungkin akan berkata, “Siomay dulu lebih enak,” menandakan adanya pergeseran rasa yang sulit dilacak karena kurangnya catatan sejarah tentang rasa.
“Makanan yang kita makan sekarang di zaman saya masa kecil itu sudah berubah. Ini enak, tapi dulu lebih enak. Ini enak, tapi ada yang berubah ya, dulu nggak seperti ini,” ujar Ary Budianto, Ary Budiyanto, penulis buku "Katjang Tjina” dalam Kuliner Nusantara (2023), pada Minggu (30/09/2024).
Ary Budianto menyontohkan, cita rasa makanan khas Jawa Timur cenderung asin, gurih dan pedas. Namun rasa itu mengalami perubahan tanpa kita sadari. Di Malang saja, makanan cenderung didominasi oleh rasa manis. Entah sejak kapan perubahan itu terjadi, karena tidak ada catatan yang menjelaskan memori tentang rasa.
Hal ini mirip dengan klepon, onde-onde, atau pecel yang disebut dalam berbagai teks kuno seperti Serat Centhini atau Kakawin Nagarakertagama. Meskipun nama-nama makanan ini disebut, rasa mereka tidak pernah dicatat secara detail. Akibatnya, rasa yang kita kenal hari ini mungkin sudah jauh berbeda dari rasa aslinya di masa lalu.
Begitu juga siomay di Bandung. Rasanya kini cenderung lebih manis dibandingkan siomay yang dijual di Jakarta atau Surabaya, yang lebih pedas dan gurih. Perbedaan ini mencerminkan selera lokal yang terus berkembang, tetapi juga menunjukkan bahwa kita tidak memiliki catatan tertulis tentang bagaimana rasa siomay pertama kali dirasakan oleh generasi pendahulu.
Merekam Rasa Sebagai Dokumentasi Gastronomi
Perubahan cita rasa ini mengingatkan kita akan pentingnya mencatat perjalanan rasa sebagai bagian dari sejarah.
Rasa bukan hanya soal subjektivitas lidah, tetapi juga memori kolektif yang membentuk identitas budaya suatu bangsa. Jika kita tidak mencatat rasa hari ini, generasi mendatang mungkin tidak akan pernah tahu seperti apa rasa asli dari makanan yang mereka warisi.
Siomay adalah salah satu contoh dari banyak makanan di Indonesia yang kaya akan sejarah dan transformasi rasa. Makanan ini bukan hanya tentang ikan tenggiri yang dibalut bumbu kacang, tetapi juga tentang bagaimana budaya, agama, dan selera lokal berinteraksi untuk menciptakan sesuatu yang benar-benar baru dan khas Indonesia.
Yuk... mulai saat ini, kita jaga dan dokumentasikan memori rasa ini, agar setiap gigitan kuliner tidak hanya membawa kenikmatan saja. Namun jauh dibalik itu: tentang cerita tentang perjalanan rasa yang membentuknya. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Siomay: Perjalanan Memori Rasa yang Membentuk Identitas Kuliner Khas Indonesia
Pewarta | : |
Editor | : Faizal R Arief |