https://makassar.times.co.id/
Kopi TIMES

Potensi Ancaman Biomagnifikasi Logam Berat Merkuri pada Lahan Pertambangan Emas

Selasa, 12 Maret 2024 - 17:14
Potensi Ancaman Biomagnifikasi Logam Berat Merkuri pada Lahan Pertambangan Emas Muhammad Parikesit Wisnubroto, S.P., M.Sc., Dosen dan Peneliti Bidang Nutrisi Tanaman dan Fisiologi di Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Andalas

TIMES MAKASSAR, PADANG – Tambang emas merupakan salah satu sektor pertambangan yang telah lama berperan penting dalam pembangunan ekonomi di Indonesia. Kontribusinya tidak hanya sebatas pada aspek ekonomi, namun juga memberikan dampak tersendiri terhadap kehidupan sosial masyarakat setempat. Menurut informasi yang dimuat pada katadata.co.id menyebutkan bahwa pada 2023 Indonesia masuk ke dalam jajaran penghasil emas terbesar di dunia. Indonesia ada di posisi ke delapan dari total 10 negara penghasil emas terbesar dengan estimasi produksi emas mencapai 110 metrik ton. Dari segi konsumsi emas, Indonesia menempati posisi 11 sebagai negara konsumen terbesar di dunia. 

Data yang dimuat pada idxchannel.com menginformasikan rerata konsumsi emas di Indonesia mencapai 44,7 metrik ton per tahun, dengan rincian terbesar dipergunakan sebagai perhiasan dan emas batangan atau koin. Jumlah konsumsi emas yang cukup besar memicu aktivitas pertambangan yang besar pula. Saat ini, PT Freeport Indonesia menjadi salah satu perusahaan tambang emas terbesar di Indonesia dengan hasil yang fantastis yakni mencapai 1,8 juta ons emas pada periode 2023. Adapun tambang ini berada di kawasan Grasberg, Kabupaten Mimika, Papua Tengah. 

Namun demikian, wilayah Indonesia lainnya juga memiliki potensi kekayaan alam berupa emas. Dikutip dari detik.com, terdapat beberapa tambang emas di wilayah Indonesia lainnya, yaitu tambang emas Tujuh Bukit di Banyuwangi, Pongkor di Bogor, Martabe di Sumatera Utara, Sumbawa, dan Gosowong di Halmahera Utara. Belum lagi beberapa tambang emas lokal dengan skala kecil yang dilakukan oleh sekelompok warga setempat. 

Adanya pertambangan di suatu wilayah merupakan berkah yang menguntungkan bagi warga sekitar dan membuka lapangan pekerjaan. Akan tetapi, dampak negatif yang ditimbulkan juga tidak kalah besar, salah satunya timbul kerusakan lingkungan berupa penanganan limbah yang kurang baik. Pada Industri pertambangan emas terdapat 2 cara untuk mengektraksi logam emas, yaitu dengan cara amalgamasi dan cara sianidasi. Adapun amalgamasi yang menggunakan merkuri (Hg) sebagai pengikat emas merupakan metode ektraksi yang paling umum digunakan (Sirappa, 2015). Proses tersebut menghasilkan limbah merkuri yang besar dan apabila tidak ditangani dengan baik memicu ancaman terjadinya biomagnifikasi. 

Baqiroh (2019) dalam artikelnya yang dimuat pada ekonomi.bisnis.com mengungkapkan bahwa Penambangan Emas Skala Kecil (PESK) baik resmi maupun Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) menjadi penyumbang terbesar terhadap limbah berbahaya dan beracun (B3) yaitu merkuri. Semakin banyak merkuri yang masuk ke dalam tanah dan air memicu timbulnya biomagnifikasi, yakni sebuah proses dimana konsentrasi merkuri dalam organisme meningkat seiring dengan naiknya tingkat trofik dalam suatu rantai makanan. 

Salah satu contoh nyata biomagnifikasi adalah tragedi Minamata di Teluk Minamata, Jepang. Tragedi Minamata adalah sebuah peristiwa tragis yang terjadi di Jepang pada tahun 1950-an dan 1960-an. Peristiwa ini bermula dari limbah industri yang mengandung merkuri dibuang ke Sungai Minamata dan Teluk Minamata oleh sebuah pabrik kimia. Limbah merkuri tersebut mengkontaminasi ikan dan kepiting di perairan tersebut. Dikutip dari artikel ilmiah yang ditulis oleh Putranto (2011) diperoleh informasi bahwa pada 1968, Katsuna memberikan kabar munculnya keracunan Hg di Teluk Minamata dan pada 1967 terjadi pencemaran Hg di Sungai Agano, Niigata. 

Saat peristiwa tersebut, kadar Hg pada ikan di teluk Minamata mencapai 11 µg/kg berat basah dan di Sungai Agano sebesar 10 µg/kg berat basah. Masyarakat sekitar yang mengkonsumsi ikan dan kepiting yang terkontaminasi merkuri mulai menunjukkan gejala keracunan yang parah dan dikenal sebagai penyakit minamata. Gejala ini termasuk kelumpuhan, gangguan bicara, kehilangan penglihatan, dan gangguan mental. Sekitar lebih dari 2000 orang meninggal dunia dan 17.000 warga harus menghabiskan masa hidupnya dengan mengidap penyakit tersebut. 

Banyak anak yang lahir dengan cacat karena keracunan merkuri yang dialami ibu mereka selama kehamilan. Kasus akibat pencemaran merkuri juga pernah terjadi di Negara Irak pada 1971–1972. Banyak masyarakat Irak mengalami keracunan alkil merkuri akibat mengkonsumsi gandum yang disemprot dengan alkil merkuri. Akibatnya, sebanyak 500 orang meninggal dunia dan 6.000 orang harus dilarikan ke rumah sakit. Keracunan merkuri lainnya juga terjadi di Negara Pakistan dan Guatemala. Kondisi tersebut terjadi sebagai akibat dari pemberian obat anti jamur pada gandum yang berbahan dasar merkuri dan menyebabkan 35 orang meninggal serta 321 lainnya menderita cacat seumur hidup.

Melihat dan meninjau lebih jauh kasus-kasus tersebut, bukan tidak mungkin tragedi yang sama mengancam Indonesia, mengingat saat ini aktivitas pertambangan gencar melakukan ekspansi, baik emas, timah, nikel, perak maupun tembaga. Proses pengolahan logam dari bijihnya akan menghasilkan limbah dengan kandungan logam berat yang berbahaya bagi ekosistem. Limbah yang tidak dikelola dengan baik dapat mencemari tanah dan air, sehingga terakumulasi pada tanaman maupun ternak. Bila tanaman dan ternak yang telah terkontaminasi dikonsumsi oleh manusia dapat berdampak fatal akibat akumulasi logam berat dalam tubuh. 

Untuk mengurangi risiko pencemaran merkuri maupun logam berat lainnya, diperlukan upaya penanggulangan dan pencegahan yang komprehensif. Hal ini meliputi pengawasan ketat terhadap limbah industri, penerapan teknologi ramah lingkungan dalam proses penambangan dan pengolahan emas, serta sosialisasi kepada masyarakat tentang bahaya logam berat dan cara mengurangi paparannya. Setelah penambangan selesai, penting untuk melakukan rehabilitasi lingkungan agar ekosistem di sekitar lokasi penambangan dapat pulih kembali. Hal ini dapat dilakukan dengan menanam kembali vegetasi asli dan membersihkan lingkungan dari limbah yang masih tersisa. 

Selain itu, diperlukan kerjasama antara pemerintah dan industri pertambangan khususnya emas dalam mengimplementasikan praktik pertambangan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan, sehingga aktivitas pertambangan dapat memberikan dampak positif terhadap kehidupan manusia maupun ekosistem. (*)

***

*) Oleh : Muhammad Parikesit Wisnubroto, S.P., M.Sc., Dosen dan Peneliti Bidang Nutrisi Tanaman dan Fisiologi di Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Andalas

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Pewarta : Hainorrahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Makassar just now

Welcome to TIMES Makassar

TIMES Makassar is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.