Kopi TIMES

Peraturan Delegasi di Indonesia: Ide untuk Membangun Kontrol Preventif terhadap Peraturan Pemerintah (Bagian 1)

Senin, 30 November 2020 - 09:00
Peraturan Delegasi di Indonesia: Ide untuk Membangun Kontrol Preventif terhadap Peraturan Pemerintah (Bagian 1) Prof. Dr. Moh. Fadli, S.H., M.Hum, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.

TIMES MAKASSAR, MALANG – Peraturan delegasi sangat diperlukan di berbagai negara demokrasi, khususnya pada era yang menuntut pelayanan publik dilakukan dengan cepat, efektif, efisien tanpa melanggar hukum. Namun demikian, peraturan delegasi harus dikontrol. 

Di dunia ini dikenal tiga jenis kontrol, yaitu kontrol parlemen, kontrol yudisial dan kontrol jenis lainnya. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) menyatakan, “Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya”. Peraturan Pemerintah (PP) disebut secara eksplisit, dijustifikasi dan diposisikan dengan fungsi untuk menjalankan undang-undang (UU) sebagaimana mestinya dalam Pasal 5 ayat (2) konstitusi negara kita. Persoalannya, PP hanya dibentuk oleh lembaga eksekutif, padahal berisi delegasi dari UU untuk menangani urusan publik. Sementara tidak ada kontrol yang handal terhadapnya.

Tulisan ini adalah untuk merekomendasikan kontrol preventif terhadap PP. Maksud utamanya adalah supaya materi muatan PP yang dibentuk sesuai dengan materi muatan yang didelegasikan oleh UU. Dengan demikian pembentukan akan PP terarah, tertib dan benar, sehingga validitas PP terjamin: tidak eksesif, ultra vires atau bertentangan dengan UU induk dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Kajian ini menggunakan pendekatan konsep (conceptual approach), pendekatan filsafati (philosophical approach), pendekatan sejarah (historical approach), pendekatan perundang-undangan (statute approach), dan pendekatan perbandingan (comparative approach), yang menggunakan bahan hukum primer dan sekunder, dan dianalisis dengan teknik preskriptif. 
Berdasarkan analisis terhadap kontrol PP dapat disimpulkan bahwa kontrol terhadap PP, masih sebatas kontrol represif. Kontrol tersebut melalui pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU ke Mahkamah Agung (MA). Kontrol represif rawan dan tidak cukup untuk menjamin agar PP tidak eksesif, ultra vires, atau inkonsistensi dengan UU induk. Mengingat kita menganut hierarki peraturan seperti dalam Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3), maka materi muatan semua peraturan perundang-undangan harus sesuai dengan jenisnya. Dalam hal demikian amat penting melakukan kontrol preventif.

Rekomendasi yang diusulkan adalah membentuk kontrol preventif terhadap PP. Caranya, setelah penyusunan draf rancangan PP rampung, diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menilai atau memberi persetujuan sebelum PP ditetapkan atau diundangkan oleh Pemerintah. Untuk itu materi muatan yang akan didelegasikan ke PP telah mulai dipikirkan sejak penyusunan Naskah Akademik suatu RUU. Dengan kontrol preventif tersebut diharapkan validitas PP terjamin: tidak eksesif, ultra vires atau bertentangan dengan UU induk dan peraturan perundang-undangan lain yang lebih tinggi, karena materi muatan PP sudah sesuai dengan materi muatan yang didelegasikan oleh UU induknya.

Ilmu Hukum secara umum dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan tentang hukum, yang ‘... concerns the theoretical analysis of law at the highest level of abstraction ... and are frequently implied within substantive legal disciplines’ (Wacks, 2012, h. 1). Dengan demikian objek kajian dari ilmu hukum adalah hukum dalam arti luas. Salah satu bagian atau kajiannya adalah ilmu perundang-undangan (Wetenschap van Wetgeving, Wissenschaft der Gesetzgebung) (Soeprapto, 2002, h. 2-3).

Untuk mengenal lebih dekat terhadap peraturan delegasi, sembari mencermati potret legislasi atau regulasi di negeri kita dalam beberapa tahun terakhir. Tulisan ini dibuat sat marak aksi menolak “Omnibus Law-atau RUU Cipta Kerja” (sebutan populer untuk RUU yang kini menjadi UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja). UU Cipta Kerja telah disahkan pada tanggal 2 November 2020. UU yang berisi XV bab dan 186 pasal tersebut dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573.

Pascademo penolakan terhadap RUU tentang Cipta Kerja, tanggal 9 Oktober 2020, Presiden menyampaikan keterangan pers bahwa tadi pagi beliau memimpin Rapat Terbatas tentang RUU Cipta Kerja bersama jajaran pemerintah dan para Gubernur. Di bagian akhir keterangan pers tersebut, Presiden menyatakan: “Saya perlu tegaskan pula bahwa Undang-Undang Cipta Kerja ini memerlukan banyak sekali Peraturan Pemerintah atau PP dan Peraturan Presiden atau Perpres. Jadi setelah ini akan muncul PP dan Perpres yang akan kita selesaikan paling lambat 3 bulan setelah diundangkan”. Ini perlu penulis garis bawahi.

Presiden sudah menegaskan bahwa (RUU) UU tentang Cipta Kerja ini akan memerlukan banyak sekali PP dan Perpres. Info yang dapat dipercaya menyebutkan bahwa semula akan dibentuk 40 PP dan 4 Perpres (namun jumlah ini sampai hari ini belum final). Durasi pembentukannya dibatasi, paling lambat 3 bulan. Bisa diprediksi betapa beratnya membuat 40 PP (dan 4 Perpres) hanya dalam waktu 3 bulan. Mengapa disebut berat? Karena waktu yang dibutuhkan dalam membuat 1 PP dapat memakan waktu 1 tahun lebih. Sementara, 40 PP dan 4 Perpres akan diselesaikan dalam waktu 3 bulan.

UU tentang Cipta Kerja yang dibuat dengan melibatkan Presiden, DPR dan DPD tersebut, ketika sudah ditandatangani masih terdapat kesalahan: pelanggaran terhadap asas kecermatan. 

Perlu diingat bahwa UU adalah produk bersama Pemerintah dan DPR (dalam hal tertentu melibatkan DPD). Sungguhpun sudah dibuat bersama, pernah terjadi di masa lalu hilangnya ayat atau pasal dari RUU, atau bahkan yang lebih buruk dari itu. Sedangkan PP adalah produk eksekutif saja. Jika RUU yang dibuat bersama saja masih ada bagian yang berubah atau hilang, muncul persoalan: siapa yang akan menjamin bahwa semua materi muatan dari UU yang didelegasikan kepada PP akan diatur sesuai dengan yang didelegasikan oleh UU? Bagaimana jika terdapat materi muatan PP yang eksesif, ultra vires, bahkan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi? Padahal PP merupakan subsistem dari sistem hukum di Indonesia, yang harus dibentuk dengan terarah, tertib dan benar.

Lord Acton (1949, h. 364) mengingatkan “Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely. Great men are almost always bad men, even when they exercise influence and not authority”. Thomas Paine (dalam Conwаy, 1894, h. 69) juga menyatakan, “Society in every stаte is а blessing, but Government, even in its best stаte, is but а necessаry evil; in its worst stаte аn intolerаble one”. Peringatan keduanya sudah lama tetapi hingga kini masih relevan. 

Ketentuan dalam RUU/UU yang didelegasikan sesungguhnya merupakan kesepakatan. Artinya, peraturan delegasi (dalam hal ini PP), harus mengatur materi muatan sebatas yang diamanatkan. Apabila peraturan delegasi melampaui materi muatan delegasi, maka batal demi hukum (van rechtwege nietig, void) karena ditetapkan oleh pejabat atau badan yang tidak berwenang (Manan & Magnar, 1997, h. 150). Sejak lama pendelegasian peraturan perundang-undangan disebut sebagai masalah yang kompleks (McCharthy, Jr & Reynolds, 2003, h. 32), konsep sentral (Flinders, 2008, h.3), kontroversial, tetapi penting dan dalam praktik amat dibutuhkan.

Dalam hal demikian inilah tampak betapa penting memiliki kontrol preventif terhadap PP. Tujuannya, agar PP hanya mengatur sebatas yang didelegasikan oleh UU, sehingga validitasnya terjamin. Dengan kata lain, tidak mengandung eksesivitas, ultra vires, apalagi bertentangan dengan UU induk dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
UU P3 mengenal jenis dan hierarki, dan telah menempatkan UUD NRI Tahun 1945 berada di puncak. Kekuatan hukum peraturan perundang-undangan, sesuai dengan hierarkinya. Peraturan di bawahnya harus bersumber kepada peraturan yang di atasnya, dan validitasnya tergantung pada peraturan yang lebih tinggi. Materi muatan setiap peraturan perundang-undangan haruslah sesuai dengan jenis atau bentuknya. Dengan demikian, kontrol preventif bernilai amat penting untuk membuat PP sebagai subsistem dari hukum nasional hanya mengatur materi muatan sesuai dengan posisinya.

Di banyak negara modern dan demokratis, delegasi kewenangan telah menjadi kebutuhan. Delegasi -di samping mandat- telah dipandang sebagai “twee hoekstenen van een effectief openbaar bestuur” (Dolle, 2000, h. 4). Delegasi terus berkembang. Delegasi kewenangan bentuknya tidak tunggal, tetapi beraneka ragam. Salah satu di antaranya adalah di bidang perundang-undangan. Dalam hal inilah dikenal terminologi peraturan delegasi (delegated legislation). Secara etimologi, istilah tersebut diderivasi dari ‘delegation’ (Inggris) atau ‘delegatie’ (Belanda) yang berarti pelimpahan (transfer) (Black, 1999, h. 426) dan ‘legislation’ yang berarti proses dan produk (Black, 1999, h. 910). Delegated legislation bisa dimaknai sebagai “legislation made by a body or a person to whom the Parliament has delegated its power to legislate” (Growes & Lee, 2007, h. 134).

Dengan begitu dapat dipahami, wujud dari pendelegasian kewenangan mengatur tersebut adalah peraturan delegasi. Hal tersebut berarti peraturan delegasi tersebut bukan nama, jenis atau bentuk peraturan, tetapi tata cara atau sistem pengaturan. Peraturan delegasi merupakan peraturan yang dibentuk karena ada pendelegasian kewenangan mengatur dari UU (parent act/primary legislation). Produk hukum yang dibentuk berdasarkan pendelegasian kewenangan disebut sebagai secondary legislation, karena pembentukannya sangat bergantung pada UU sebagai primary legislation.

Peraturan delegasi berwatak derivatif terbatas dari UU. Karena itu, pengaturan dalam peraturan delegasi tidak boleh melampui atau bertentangan dengan materi muatan yang didelegasikan oleh UU. Validitas peraturan delegasi bergantung pada kesesuaiannya dengan hal-hal yang didelegasikan.

Dewasa ini, urusan masyarakat semakin kompleks, rumit, dan memerlukan penyelesaian secepatnya. Apalagi di masa pandemi Covid 19, saat krisis melanda dunia. Peraturan delegasi dapat menjadi trouble shooter untuk mengatasi berbagai masalah yang muncul dalam penyelenggaraan pemerintahan. Peraturan delegasi makin memegang peranan penting. Tanpa peraturan delegasi, bisa dipastikan pemerintahan akan berjalan lambat, bahkan mandeg (Fadli, 2011a: 1).

Meningkatnya penggunaan peraturan delegasi, membawa efek samping yang telah dirasakan secara luas oleh berbagai negara. Sebagai contoh, jumlah peraturan delegasi di Inggris setiap tahun diperkirakan mencapai 3.000 sampai 3.500 yang terdiri atas Negative Instrument, Affirmative Instrument, dan lainnya (Cumper, 1999, h. 329). Tepat 100 tahun lalu, pada tahun 1920, di Inggris terjadi peningkatan tajam terhadap penggunaan peraturan delegasi. Terkait kondisi tersebut, Lord Heward of Bury-Lord Chief Justice of England tahun 1929 mempublikasikan karyanya The New Despotism, yang mengemukakan, “...a dangerous and uncontrolled growth of bureaucratic power” (Molan, 2003, h. 27). Di USA, setiap tahun terdapat sekitar 7.000 peraturan legislatif (legislative rules) pada tingkat federal, dan ini menimbulkan kontroversi (Asimow, 1983, h. 253 dan h. 269).

Sementara itu di Indonesia tidak kalah rumit. Sekedar ilustrasi, antara tahun 2001-2019 peraturan delegasi juga semakin berkembang. Jumlah selengkapnya pertahun dapat dilihat pada tabel di laman Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia https://jdih.setneg.go.id/Produk (2020)

Tabel tersebut menunjukkan bahwa peraturan delegasi (dalam hal ini PP) dan Peraturan Presiden (Perpres) jauh lebih banyak daripada UU. Dalam setahun (sejak tahun 2001-2019) rerata disahkan 29 UU dan 86 PP, sedang Perpres (mulai tahun 2004-2019) rerata disahkan 92 Perpres. Data tersebut menunjukkan bahwa jumlah rerata PP dibanding rerata UU dalam tahun yang sama (86:29) hampir 3 (2,965) kali lipat, sedangkan jumlah rerata Perpres dibanding UU dalam tahun yang sama (92:29) lebih dari 3 (3,172) kali lipat.

Jumlah di atas tidak termasuk peraturan daerah provinsi, kabupaten/kota, atau peraturan menteri, peraturan gubernur, peraturan bupati/wali kota. Demikian pula tidak termasuk peraturan di lembaga tinggi negara semacam DPR, MA, Mahkamah Konstitusi, dsb. Demikianlah gambaran di Indonesia. Dengan demikian, wajar jika masyarakat dunia kini dilukiskan memasuki era hyperreguleted society, era yang bergelimang peraturan (hyperregulation) (Susskind, 1998, h. 12-dst).

Berdasarkan pemikiran tersebut, penting untuk membahas mengenai peraturan delegasi. Dalam konteks Indonesia, bagaimana dasar hukumnya dalam UUD NRI Tahun 1945? Apa sebenarnya fungsi PP itu? Selain itu, mengingat PP adalah amanat dari UU, maka tidak kalah penting yaitu memikirkan konsep kontrol preventif terhadap PP, agar PP yang mengatur materi muatan yang didelegasikan oleh UU induknya, hanya berisi sebatas materi muatan yang didelegasikan. Dengan adanya kontrol preventif tersebut diharapkan materi muatan PP yang dibentuk sesuai fungsi dan posisinya menurut Pasal 7 UU P3. Jika semua materi muatan PP sesuai aturan, maka subsistem dari sistem hukum kita sudah terarah, tertib, dan benar.

Bersambung ke bagian 2...

Pewarta :
Editor : Faizal R Arief
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Makassar just now

Welcome to TIMES Makassar

TIMES Makassar is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.