TIMES MAKASSAR, MAKASSAR – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Selatan mengungkapkan telah menerima laporan kerusakan lingkungan dari lebih dari 10 daerah di provinsi tersebut sepanjang 2025. Beragam pelanggaran dilaporkan, mulai dari perusakan hutan, pencemaran air, hingga aktivitas pertambangan ilegal.
Direktur Walhi Sulsel, Muhammad Al Amin, menyatakan bahwa Kecamatan Moncongloe di Kabupaten Maros menjadi episentrum keluhan warga. "Daerah Moncongloe, Kabupaten Maros, menjadi wilayah yang paling banyak mendapat pengaduan," ujarnya di Makassar, Jumat (17/10/2025).
Amin menjelaskan bahwa laporan-laporan tersebut diterima secara bertahap dari berbagai penjuru Sulsel. Ia mencontohkan laporan terbaru dari Bulukumba tentang aktivitas tambang yang merusak, serta menegaskan bahwa pengaduan serupa seperti kasus pertambangan tanah uruk di Galesong, Takalar, telah terjadi sejak 2023. “Yang paling banyak laporan datang dari Maros, khususnya Kecamatan Moncongloe,” tegasnya.
Menurut Amin, kerusakan lingkungan di Sulsel telah menyebar luas dan dampaknya dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Daerah yang sebelumnya tidak rawan bencana kini mulai terkena imbas, menunjukkan perlunya keterlibatan semua pihak untuk memastikan kelestarian lingkungan.
Posko Aduan Lingkungan Sebagai Solusi Partisipatif
Sebagai respons atas meluasnya kerusakan, sejumlah organisasi masyarakat sipil di Sulawesi Selatan membentuk Posko Aduan Aktivitas Ilegal Lingkungan. Inisiatif kolektif ini bertujuan menyediakan saluran partisipasi publik untuk melaporkan aktivitas ilegal, seperti pertambangan tanpa izin, pencemaran, dan alih fungsi lahan.
Posko aduan akan dipusatkan di wilayah-wilayah dengan intensitas aktivitas ilegal tinggi, seperti Luwu Timur, Pinrang, dan Maros. Kabupaten Maros sendiri menjadi perhatian khusus karena kondisi lingkungannya yang rentan, seperti banjir di musim hujan dan kekeringan parah di musim kemarau. Aktivitas kendaraan berat di area tambak dan lahan pertanian juga sering mengganggu kegiatan warga.
Kolaborasi ini melibatkan Walhi Sulsel, LPA Maros, PBHI Sulsel, Lapar Sulsel, dan Yayasan Pendidikan Lingkungan. Mereka menekankan pentingnya mekanisme pelaporan yang aman dan memiliki payung hukum, mengacu pada Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang menjamin perlindungan bagi warga yang memperjuangkan hak lingkungan.
Muhammad Asri dari LPA Maros menyoroti pentingnya pelibatan masyarakat. "Masyarakat bingung mau melapor kemana karena mungkin dia merasa pendidikannya tidak terlalu pantas untuk ke kantor polisi, pemerintahan atau sebagainya,” ungkapnya.
Untuk mengatasi hal ini, posko aduan tidak hanya menjadi saluran pengaduan, tetapi juga menyediakan bantuan hukum melalui pengacara lingkungan yang dapat mewakili warga dalam menyampaikan laporan kepada pihak berwenang. Melalui langkah ini, koalisi berharap pengawasan kerusakan alam dapat diperkuat secara partisipatif dan mendorong penegakan hukum yang lebih tegas terhadap pelaku kejahatan lingkungan. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Walhi Catat 10 Daerah di Sulsel Alami Kerusakan Lingkungan, Maros Paling Banyak Diadukan
Pewarta | : Antara |
Editor | : Faizal R Arief |