Berita

Cahaya Berwarna di Langit Usai Gempa di Malang, Ini Penjelasannya

Minggu, 11 April 2021 - 15:49
Cahaya Berwarna di Langit Usai Gempa di Malang, Ini Penjelasannya video yang menampilkan cahaya langit berwarna seperti pelangi berada di balik awan. (Tangkapan layar Twitter/@424jt)

TIMES MAKASSAR, JAKARTA – Sejumlah foto dan video viral di media sosial setelah peritiwa gempa di Malang, Jawa Timur, pada Sabtu siang (10/4/2021) siang kemarin. Salah satunya berupa video yang menampilkan cahaya langit berwarna seperti pelangi berada di balik awan.

Dalam video berdurasi singkat, sekitar 14 detik yang diunggah akun Twitter @424jt, terdengar suara warga yang merekam video sambil bertanya tentang fenomena langit berwarna yang tampak. 

Ada beberapa tanggapan atau penjelasan atas fenomena langit tersebut. Koordinator Bidang Diseminasi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG Hari Tirto Djatmiko mengatakan bahwa fenomena cahaya di langit tersebut tidak berkaitan dengan peristiwa gempabumi.

Menurut dia, yang tampak dalam video adalah pembentukan dan pertumbuhan awan konvektif cumulus menjadi cumulonimbus.

"Sedangkan cahaya yang tampak di belakang awan tersebut merupakan pembiasan cahaya dari sinar matahari yang tertutup oleh awan," katanya, Minggu (11/4/2021) dikutip dari Tempo.co.

Hari melanjutkan komentarnya. Kondisi yang sama (pembiasan) yang membawa berbagai macam jenis gelombang panjang, salah satunya, cahaya tampak. Seperti diketahui, panjang gelombang dari cahaya matahari yang masuk ke bumi dihalau dan disaring oleh partikel-partikel yang ada di atmosfer dan sekitar awan-awan.

Gelombang tersebut yang saat kondisi cuaca cerah-berawan disertai pembentukan dan pertumbuhan awan-awan konvektif kemudian berinteraksi dengan partikel-partikel penyusun yang ada di atmosfer dan kemudian menghasilkan penghamburan cahaya.

Semakin rendah panjang gelombang cahaya tampak yang mendominasi maka semakin banyak gelombang cahaya merah dan kuning yang dihamburkan. "Sehingga kondisi langit yang tampak dan terlihat oleh mata kita berwarna merah dan kuning di sekitar awan tersebut," katanya.

Hal senada juga disampaikan oleh Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Daryono. Fenomena langit tersebut tidak ada hubungannya dengan kejadian gempa yang terjadi di Malang.

"Tidak ada hubungannya," ujar Daryono dikutip dari Kompas.com, Minggu (11/4/2021).

Menurut dia, fenomena pancaran sinar pada awan setelah gempa hanya kebetulan.

Ada penjelasan yang menyebutnya sebagai fenomena clud irisdence. Marufin Sudibyo, seorang astronom mengatakan, fenomena langit berawan dan memancarkan cahaya seperti pelangi disebut sebagai fenomena atmosfer yang iritasi atau cloud irisdence.

"Ini fenomena atmosfer murni akibat adanya sumber cahaya kuat (Matahari) dan penghalang awan yang bagian tepinya lebih tipis," ujar Marufin kepada Kompas.com, Minggu (11/4/2021).

Cahaya tersebut muncul menilik jarak sudut antara warna-warna yang terlihat dengan posisi matahari relatif kecil (kurang dari 45 derajat). 

Fenomena tersebut serupa ketika seseorang bermain gelembung sabun di tempat terang pada siang hari.

Pada gelembung akan terlihat pendaran warna-warna pelangi yang disebabkan oleh difraksi cahaya matahari oleh partikel-partikel nano yang menyusun lapisan tipis gelembung sabun.
 
Marufin mengatakan bahwa fenomena cloud irisdence tidak terjadi karena faktor gempa.

Sementara itu, melansir dari sindonews.com, penampakan cahaya langit berwarna setelah gempa di Malang, pernah terjadi beberapa kali salah satunya di Edmonton, Alberta Kanada. Fenomena itu terlihat dengan mata telanjang dan pernah terdeteksi oleh Stasiun Antriksa Inggris (ISS).

Melihat sinar cahaya itu warga langsung dilaporkan Stasiun Luar Angkasa Internasional. Penampakan itu berbentuk satu garis merah dan satu hijau yang pernah terlihat di dekat ISS pada 2016 dan 2017.

Mereka yang telah menyaksikan cahaya Kanada mengakui bahwa mereka tidak tahu apa itu atau dari mana asalnya.

Adapula yang mempercayai cahaya seperti "laser" itu terkait dengan HAARP, program militer AS yang dikabarkan untuk memanipulasi cuaca.

Meskipun sangat mirip aurora, mereka tidak terkait dengan cahaya utara, yang disebabkan oleh partikel bermuatan listrik dari ruang angkasa. 

Sebaliknya, pilar cahaya terjadi pada suhu beku ketika kristal es heksagonal datar terbentuk lebih rendah di atmosfer daripada biasanya.

Ada juga yang mengaitkan fenomena cahaya langit berwarna itu dengan gempa. Mengutip dari smithsonianmag.com, para ilmuwan memiliki hipotesis baru untuk menjelaskan fenomena misterius tersebut — yang memungkinkan cahaya berfungsi sebagai peringatan untuk gempa yang akan terjadi.

Selama berabad-abad, saksi mata kadang-kadang melaporkan melihat fenomena yang tidak dapat dijelaskan beberapa menit sebelum, selama atau setelah gempa: cahaya terang aneh di langit.

Tepat setelah gempa tahun 1888 yang melanda Selandia Baru, misalnya, ada laporan tentang "penampakan bercahaya" dan "cahaya luar biasa" yang terlihat selama beberapa jam. Mereka terlihat pada tahun 1930, saat gempa bumi di Idu, Jepang, terlihat hingga 70 mil dari pusat gempa. Di antara lusinan gempa bumi yang dilaporkan menghasilkan cahaya aneh, kualitasnya sangat bervariasi: Orang-orang melaporkan melihat suar putih, bola mengambang, atau nyala api berwarna pelangi. Cahaya terkadang muncul hanya beberapa detik, tetapi di lain waktu mereka melayang di langit selama beberapa menit atau jam pada suatu waktu.

Untuk sebagian besar sejarah modern, laporan ini dianggap apokrif. Baru setelah serangkaian foto cahaya aneh yang diambil selama gempa bumi tahun 1965 di Nagano, Jepang — termasuk yang di bawah ini — para ilmuwan mengakui validitas fenomena tersebut.

Selama beberapa dekade terakhir, berbagai hipotesis telah diajukan. Beberapa orang telah mengusulkan bahwa gerakan tektonik batuan yang termasuk kuarsa dapat menghasilkan medan pizoelektrik yang menghasilkan kilatan cahaya. 

Beberapa yang lain berpendapat bahwa tekanan tektonik untuk sementara memungkinkan batuan untuk menghantarkan energi elektromagnetik, memicu perubahan muatan magnet dari ionosfer, tingkat paling atas dari atmosfer. Tetapi sangat sulit untuk menguji salah satu hipotesis ini, karena gempa bumi sangat tidak dapat diprediksi, dan kondisinya sangat sulit untuk ditiru di laboratorium.

Dalam penelitian yang diterbitkan Seismological Research Letters, sebuah tim ilmuwan oleh Robert Thériault menggunakan strategi alternatif untuk mencari tahu jawabannya — mereka menganalisis keadaan geologi dari 65 gempa bumi yang dimulai pada tahun 1600 yang menghasilkan laporan cahaya untuk melihat apa ini. (*)

Pewarta : Rochmat Shobirin
Editor : Ferry Agusta Satrio
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Makassar just now

Welcome to TIMES Makassar

TIMES Makassar is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.